my opera
klik ajah
...di bibir. Suatu tanda sayang, tanpa nafsu. Johan terharu. Gadisnya kali ini, begitu berbeda. Gadis yang tak ingin disentuhnya. So sweet. Begitu manis.
...tergelak.
Ray, sambil cengengesan berkata, "Biar tambah gemuk."
Hilda mengangkat lengannya dan memukul dada Ray.
"Tegaaa!!" Yang lain tertawa lagi. Tapi Ray meraih pergelangan si gadis.
"Ini juga buat kamu," bisiknya sambil tersenyum, lalu tanpa malu-malu mengecup kening gadis di depannya. Kontan saja yang lain bersorak sorai. Romantis sekali. Hilda terbang ke awan.
Setelah itu, Ray berbalik, menatap kerumunan pemuda di belakangnya.
"Lho??" serunya, "Jita? Hendra? Lucky? Lhah, kok kalian di sini?" Pemuda-pemuda yang sejak tadi cengengesan itu langsung ribut sendiri. Semua kenal Ray. Si badung dari SMA XXX. Siapa lagi yang paling suka sok akrab dengan mereka hanya untuk memperoleh imformasi dunia cewek? Ray langsung mengakrabkan diri, membiarkan gadis-gadis sahabat Hilda memendam kekecewaan dalam hati. Siapa sih yang ngga pingin kenal sama Ray? Bahkan sang Venus sendiri, meruncingkan bibir. Sejak tadi ia memiringkan tubuhnya dan tersenyum semanis-manisnya. Jangankan memandang, menoleh saja pemuda itu tidak.
-o-
Lalu Johan datang.
Vinny sedikit terkejut saat melihat Ray dan Johan saling berangkulan.
"Ya nggak, Vin?"
"Hah?" Vinny terkejut, "Apanya?"
"Si Ray itu. Ngga boleh dekat-dekat sama Hilda kita."
Vinny tertawa.
"Cowok kayak gitu saja, loh. Ngapain ditakutin."
Nadanya sedikit keras, berharap si pemuda mendengar. Gadis-gadis itu tertawa. Vinny menoleh, hendak menyaksikan reaksi si pemuda. Tapi ternyata pemuda itu sudah menghilang bersama yang lain-lain. Vinny mendengus kesal.
"Brengsek," makinya sambil berbisik.
Very humiliating.
Tak ada orang yang tak mengacuhkan Venus, lalu menghilang begitu saja, dan selamat....
Benak si gadis bekerja. Sel-sel kelabunya berdenyut.
"Come, Hastings! Do better than that!"
-o-
CHAPTER III
Vinny : One step to revenge
three weeks after the party....
"Vin...," Johan melumat bibir gadisnya dengan lembut. Vinny membalas. hari itu tepat empat bulan lamanya mereka berhubungan. Sebuah acara makan kecil-kecilan, seperti yang biasa mereka lakukan setiap tanggal sebelas. Malam itu di rumah Johan. Sepi dan remang. Romantis. Tak ada seorangpun, semua sedang liburan ke Bali kecuali Johan. Menghabiskan waktu bersama Vinny, itu menjadi keinginannya.
Pelukan si pemuda semakin erat. Vinny memejamkan mata. Tersenyum dan menggigit bibir si pemuda.
"Jangan nakal, ya?" bisik si gadis. Johan menyeringai.
"Sekali saja," pintanya. Vinny tak menjawab. Bibir Johan kembali menempel. Mereka berpagutan. Perlahan tapi pasti, jemari Johan mulai merambat. Menelusuri pundak Vinny, lalu meraba lehernya. Kemudian satu jari turun ke bawah. Vinny mendesah dan menggeliat. Tapi tak menolak.
Satu jari sudah menyusup masuk. Menekan gumpalan daging kenyal. Johan mulai berkeringat. Pemuda itu tarik tangannya, lalu dengan cepat berusaha membuka kancing baju si gadis. Vinny hanya diam. Menunggu dan menunggu.
Bibir Johan menelusuri dagu si gadis. Mengecupi kulit lehernya yang mulus tanpa cacat. Jemarinya mulai meremas dan memijat.
"Ahhh," Vinny mendesah lagi. Tak membuka mata. Johan semakin liar. Satu tarikan, rok yang dikenakan Vinny terangkat ke atas. Memperlihatkan paha yang indah. Johan menarik nafasnya dalam-dalam. Nafsu sudah menguasainya.
"Vinny...," bisiknya. Jawaban si gadis hanya sebuah pagutan di bibir. Hati Johan bersorak. Inilah saatnya! Yang sudah lama ia tunggu-tunggu. Jarinya mulai menelusuri paha si gadis. Berusaha menemukan tempat-tempat yang dianggapnya sensitif bagi si gadis. Berharap si gadis ikut hanyut bersamanya. Satu tekanan di selangkangan Vinny. Gadis itu mengerang tertahan. Pagutan di bibir Johan mengeras. Lengan si gadis rangkul pundak Johan. Memeluk lebih erat.
"Jo, aku takut," bisik Vinny tiba-tiba. Johan menghentikan gerakan jemarinya.
"Vin, aku sayang kamu," bisik si pemuda. Tak ingin melepaskan segalanya.
Vinny menyusupkan kepalanya di leher si pemuda. Tanda kepasrahan.
Bugil. Kedua anak manusia itu sudah dalam kondisi telanjang. Vinny mengerutkan wajahnya. Mendesah. Johan menggeliat di atasnya. Keringat membasahi tubuh si pemuda, seiring nafsu yang membuatnya melayang. Batang kemaluan si pemuda gesek kemaluan si gadis. Petting. Khas anak muda di jamannya.
"Vin..ahh....," Johan memanggil nama kekasihnya. Satu keinginan yang menguasai benaknya. Ia ingin bercinta. Ia ingin merasakan kenikmatan itu. Vinny tak menyahut. Johan tak tahan lagi. Pemuda itu susupkan tangannya ke bagian bawah tubuhnya. Meluruskan posisi batang kemaluannya dan... menekan. Mendadak Vinny membuka mata. Meringis sambil mengerutkan alis.
Plak!! Satu tamparan telak melayang ke wajah si pemuda. Johan merasa pandangannya berkunang. Pemuda itu menggulingkan tubuhnya ke samping, Terjatuh ke lantai dari atas sofa yang lembab. Mengelus pipi, pemuda itu tatap wajah gadisnya.
Vinny menatap. Ada hawa yang dingin di sana.
"Vin," Johan berbisik, mengelus pipinya yang perih. Gadis itu tak menjawab.
Beberapa saat memandang, Vinny mengangkat tubuhnya. Tangannya terulur, meraih bra dan celana dalamnya yang tergeletak di depan Johan. Pemuda itu hanya memandang. Tak tahu harus berbuat apa. Vinny mengenakan kembali pakaian dalamnya. Kemeja dan rok menyusul. Tatapan Johan tak beralih. Pemuda itu juga tidak berusaha mengenakan kembali pakaiannya. Si gadis raih tas kulit kecilnya. Pencet tombol-nomor taksi. Tanpa menoleh, si gadis lalu berdiri dan melangkah ke luar rumah. Johan seolah tersadar dari mimpi buruk.
"Vin!" pemuda itu berteriak memanggil, bergegas meraih pakaiannya.
Johan menemukan Vinny tengah duduk di teras rumah. Pemuda itu mendudukkan tubuhnya di sebelah si gadis. Matanya menatap.
"Vin. Aku minta maaf," bisik si pemuda. Sedikit merasakan penyesalan itu.
Vinny hanya mendengus ...
Pria yang bisa segalanya. Mampu mendapatkan wanita manapun.
Johan merasa, sudah waktunya untuk berhenti. Pelabuhannya sudah tampak di depan mata. Vinny. Gadis itu cantik, pandai, dan begitu lembut. Jatuh cinta.
Dalam perjalanan pulang Johan membayangkan, kehidupan rumah tangga yang harmonis bersama Vinny. Saat-saat dimana mereka akan hidup berdua. Penuh kasih sayang dan cinta. Senyuman yang mengiringinya dalam mimpi-mimpi indahnya nanti malam.
"Dasar bego," Vinny mencibir, si pemuda mobil itu menghilang dari pandangan.
Jemarinya memainkan rantai emas yang diberikan Johan sebagai tanda permintaan maafnya. Pria memang biasa begitu. Melakukan apapun, asal si gadis mau memaafkan. Bahkan dengan memberikan rantai emas pemberian ayahnya.
Sampai di kamar, Vinny melemparkan kalung emas itu ke atas meja rias. Ia bukan cewek matre. Ia hanya keranjingan untuk disentuh.
Dan... menguasai.
-o-
beberapa hari kemudian....
"Kamu cantik sekali," Johan berkata dari depan pintu. Vinny tersenyum.
"Makasih," katanya, lalu mengecup pipi si pemuda. Johan tertawa.
Tak berapa lama kemudian, mereka sudah berada dalam perjalanan menuju K-Club. Malam itu, mereka akan berpesta. Hilda, sahabat Vinny, akan merayakan pesta ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Semua teman-temannya diundang. Bukan pesta besar-besaran, seperti yang diselenggarakan ayah Vinny, tapi cukup meriah. Band metropolis diundang untuk meramaikan. Tempat dibuka untuk umum. Yang pasti, semua akan merasakan kegembiraan di sana.
Pukul sembilan, pesta sebenarnya mulai berlangsung. Orang tua Hilda dan Bapak Wali Kelas sudah undur diri. Mereka tahu, selama mereka masih ada, bocah-bocah ABG itu takkan bisa menikmati apapun. Vinny dan Johan datang tepat pukul sembilan lebih lima belas. Vinny yang memintanya demikian, sebab gadis itu tak ingin melihat acara yang bertele-tele. Johan hanya manut saja, persis kerbau dicucuk hidungnya.
Suasana terlihat begitu ramai saat mereka masuk. Penuh sesak dengan orang-orang. Baik yang mereka kenal, maupun yang tidak. Vinny langsung menyusup di antara sesaknya pengunjung K-Club. Mencari Hilda, tak mengacuhkan Johan yang tertinggal di belakangnya. Para pengunjung pria memandang penuh rasa ingin tahu saat sang Venus melintas.
"Itu Vinny."
"Anak SMA X."
"Wah, cakepnya."
Vinny tak perduli. Sudah biasa. Matanya menemukan Hilda dan sahabat-sahabatnya di sisi seberang. Deretan belakang DJ. Vinny melambaikan tangannya, membuat beberapa pria mendesah tatkala menyaksikan kemulusan kulitnya.
"Hildaaaa! Met ultah!" Vinny berseru sambil mengecup kedua pipi sahabatnya.
"Vinny. Makasih," Hilda balas merangkul. Saat itu Johan sudah sampai, langsung mengulurkan tangannya. Hilda memanggil waiter dan memesan satu pitcher bir lagi untuk menyambut kedatangan Vinny dan Johan. Vinny mendudukkan tubuhnya di samping Hilda, sementara Johan terpaksa berdiri karena tempat sudah tak ada lagi.
Sekejap kemudian, Vinny, Hilda, dan gadis-gadis lain yang berkumpul di tempat itu terlibat dalam perbincangan yang seru. Johan, dan para pemuda lainnya hanya menyaksikan dari belakang. Yah, pemuda memang tak bisa apa-apa saat kekasih mereka sedang berkumpul dengan sahabat- sahabatnya.
Gadis-gadis itu sendiri, pasti sudah lupa kalau mereka tak datang sendiri.
Gossip dan rumpi pun mulai unjuk gigi.
"Kamu bawa siapa tuh, Na. Keren juga."
"Hihihi. Itu kan si Hendra anak SMA XX."
"Masa? Kok jelek gitu."
"Jangan gitu, dong. Itu namanya menghina."
Mendadak DJ mengoceh lewat pengeras suara.
"K-Club! Welcome everybody to the hottest Saturday night party in Surabaya! And now, Ari presenting..."
Si DJ berhenti sejenak, musik mengalun dalam bit lebih cepat.
"...Ray!! The hottest guy tonight! Welcome, my Bro!!"
Terdengar suara seruan dari beberapa sudut.
Hilda bangkit berdiri. Matanya mencari-cari.
"Siapa, Da?" tanya Tia. Sahabat-sahabatnya yang lain juga mencari-cari.
Vinny menoleh, dan melihat Johan sudah menghilang dari belakangnya. Tak berapa lama, Hilda melangkah keluar dari kerumunan sahabatnya. Kedua lengannya terbuka saat menyambut seorang pemuda yang datang sambil cengar-cengir. Seorang pemuda dengan rambut yang unik. Jabrik, tapi ada beberapa helai rambut yang terjatuh sampai ke dagunya. Baju pemuda itu terkesan asal-asalan, hanya kaus oblong dan celana teropong. Sepatu jalan adidas hijau lusuh menjadi alas kaki. Gadis-gadis yang sejak tadi memperhatikan langsung heboh.
"Hah? Itu kan Ray-nya SMA XXX???"
"Astaga!! Kok Hilda kenal dia?"
"Wuih? Ray? Ray yang itu?"
"Ha? Si hidung belang??"
"Kereeennn!!!"
Mata Vinny menyipit.
Ray? Ray yang itu? Mengulang pendengarannya, pikirannya berkecamuk. Bukannya ia tak tahu tentang reputasi sang pemuda.
-o-
"Raaay! Aku tunggu-tunggu dari tadi," Hilda berkata dengan nada manja. Ray, yang memang baru saja ngebut gara-gara ketiduran, hanya nyengir. Pemuda itu lalu merangkul si gadis.
"Met ultah, Da," bisik si pemuda. Hilda merasa wajahnya memerah.
"Aku terlambat, karena ini....," lanjut si pemuda. Mendorong tubuh Hilda agak menjauh, pemuda itu rogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari beludru warna biru. Hilda terkesiap. Sahabat-sahabatnya juga. Ray menyodorkan kotak biru itu pada si gadis, yang dengan ragu-ragu mengambilnya.
"Buka! Buka!" sahabat-sahabat Hilda mulai ribut.
Hilda merasa wajahnya panas. Dengan sedikit gemetar, gadis itu membuka kotak.
"Ha? Kok Combantrin? Sebiji pula?" si gadis berbisik sambil meringis.
Kontan saja semua orang yang mendengar ...
...sambil tersenyum.
"It's all over, Jo."
"Vin..."
"Kamu ngga bisa nahan."
"Tapi.. kamu..."
Vinny mendadak menoleh. Menatap mata pemuda itu dalam-dalam.
"Kamu lemah."
Johan terdiam. Berjuta pemikiran meracau di benaknya. Saat itu terdengar klakson dari luar pagar. Sebuah taksi berwarna putih di sana.
"Vin. Aku saja yang antar pulang."
"Dan membuang duitku? No, thanks."
Vinny bangkit berdiri dan melangkah. Johan cepat-cepat mengulurkan lengannya, meraih pergelangan tangan si gadis.
"Vin!"
"Jo, lepaskan. Sakit!" Vinny mengeluh sambil meringis. Johan melepaskan genggamannya. Matanya terpaku menatap punggung si gadis yang berlalu. Teringat dia akan segala sesuatu yang pernah didengarnya-yang semula disangkanya tak mungkin dimiliki oleh gadis semanis Vinny. Gadis itu.....
Venus!!
Johan berlari. Mendapatkan taksi yang masih belum melaju. Kepalannya menghantam jendela belakang.
"Vin!! Setan kamu!! Kamu sengaja!! Vin!! Tega!! Selama ini!?!" Jendela turun. Hanya sedikit. Johan bisa melihat seringai itu di wajah si gadis.
Seringai kegelian, kenakalan. Tak pernah tampak sebelumnya.
Secarik kertas melayang keluar. Jatuh di aspal kotor.
Taksi berlalu. Meninggalkan Johan dengan segala rasa di hatinya. Pemuda itu jumput jertas di atas aspal.
"Empat bulan," bisiknya. Hatinya penuh dendam.
Vinny yang selama ini begitu manis. So sweet. Begitu lembut. Tak pernah salah.
Gadis yang sudah membuatnya merasakan cinta sepenuhnya. Yang sudah membuatnya takluk. Menyerahkan seluruhnya. Vinny.....
...Pria (begitu bunyi surat yang dibaca Johan)...
..................begitu kalian terlihat lemah, kalian tak menarik lagi
..................hanya seonggok kotoran tanpa makna
..................ah, malangnya
...Pria
..................yang tampan dengan nama buruk
..................takkan laris
...Wanita
..................yang cantik dengan reputasi buruk
..................tetap laris
...Wanita
..................juga punya mulut
..................bisa menggossip, bisa memfitnah, lebih dari pria
...So...
..................jaga mulutmu baik-baik, oke?
...Vinny
..................hanyalah milik pria perkasa
Johan terhenyak. Ia sudah kalah. Bahkan sebelum membalas dendam. Pemuda itu jatuh. Berlutut. Merasakan keperihan di sekujur bagian tubuhnya. Dan hatinya, ia menangis. Merasa dirinya begitu lemah. Ia, yang selama ini perkasa.
"Vinny!" geramnya. Mengepalkan jemari.
Mendadak matanya melihat sesuatu yang berkilat beberapa meter dari tempatnya berada. Mata Johan terpicing.
di dalam taksi...
"Hihihi," Vinny terkekeh geli. Wajah Johan pasti lucu sekarang. Vinny membayangkan, seandainya Johan memang berkoar pada semua orang tentang keburukan dirinya. Membanggakan kehebatannya sebagai seorang lelaki-bukankah semua lelaki demikian kalau ditinggal kekasihnya? Lalu Vinny akan menyebarkan pada semua orang, bahwa Johan cuman punya `burung' sekutil besarnya. Dan ciumannya persis sosoran babi. Belepotan liur.
Dalam bayangan Vinny, Johan akan setengah mati membuktikan bahwa ia tidak begitu. Bisa-bisa Johan jadi exhibisionist. Memamerkan `burung'-nya kesana kemari. Lalu menyosori gadis-gadis semaunya. Menggelikan. Vinny yakin, Johan akan menjaga mulutnya baik-baik. Si gadis menghela nafasnya dalam-dalam. Ia kembali sendiri kini. Waktunya berburu. Dan ia sudah menjalankan tahap pertama rencananya...dengan Johan. Berikutnya...
-o-
CHAPTER IV
Hilda Ray Vinny : about `the special one`.
one fine day
"Masa mereka semua sudah ngga perawan?" Ray bertanya sambil melongo. Hilda anggukkan kepalanya. Bicara seks dengan pemuda itu sudah bukan merupakan hal yang tabu. Bagi si gadis, pemuda itulah satu-satunya lawan bicara yang paling terbuka, yang pernah dikenalnya seumur hidup. Dan itu menyenangkan.
"Iya. Konyolnya nih, mereka semua tuh bocornya pake vibrator."
Ray melongo lebih lebar.
"Ha? Vib..vibra..tor? Duileh??"
Hilda cekikikan. Wajah pemuda itu terlihat `dongok'.
Ray mendadak memamerkan cengiran kudanya yang sudah terkenal kemana-mana itu. "Heee...," katanya, "asik juga. Tapi banyakan kasihannya."
"Kenapa, Ray?"
"Iya," sahut Ray, pasang muka berwibawa, "kan enakan pake itunya cowok."
Hilda ngikik, "Hihihi. Iya sih. Tapi ga tau tuh. Kerjaannya si Vinny."
"Vinny? Siapa? Eh? Vinny-nya sekolahmu?"
"Iya. Kamu kenal? Kemarin kan ketemu waktu di pestaku."
Ray mengelus-elus dagunya.
"Jadi si Vinny yang ngajak make vibrator?"
Hilda tak menjawab. Sedikit terkejut. Tanpa sadar ia telah membuka rahasia sahabatnya sendiri.
"Ngga gitu sih."
"He, terlambat. Asik, gossip baru," sahut Ray nyengir. Hilda mengayunkan lengannya, memukul bahu si pemuda.
"Ray, jangan gitu dong. Jadi ngga enak. Awas kalau bilang-bilang."
"Wah, kapan ya terakhir kali mulutku ikut omongan cewek?"
Hilda mengerang. Ray menatap menggoda. Satu kecupan melayang ke bibir si gadis tanpa sempat dicegah. Cup! Hilda mendorong tubuh si pemuda. Wajahnya memerah.
"Apaan, sih?"
"Hehehe," kekeh Ray nakal, "kan biar mulutku `manut' sama kamu."
Si gadis meleletkan lidah, "Wek. Emangnya mesti pake nge-kiss?"
"Lho? Nggak mau? Ya udah. Kutarik lagi."
Cup! Cup! Kecupan demi kecupan pun melayang bertubi-tubi. Hilda menggunakan tangannya, berusaha mengusir makhluk iseng yang sibuk menempelkan bibirnya.
"Mmmmmm...mmm... Raaa..mmm!!"
Ray menarik diri, "Ha? Siapa itu Ram? Rama? Cowok kamu, ya?"
"Iseng!"
"Asik! Ngga marah!"
Si pemuda ...